Beranda | Artikel
Serial Fiqih Pendidikan Anak No 131: ORANG TUA SAHABAT ANAK Bagian 2 (Habis)
Senin, 17 Oktober 2022

Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 131
ORANG TUA SAHABAT ANAK – Bag-2 (Habis)

 

Ayah dan ibu sebaiknya tidak hanya memposisikan diri sebagai orang tua. Namun juga memposisikan diri sebagai sahabat yang baik bagi putra-putrinya. Bagaimana langkah-langkah praktisnya? Berikut kelanjutan pembahasan tersebut:

Keempat: Libatkan Diri dalam Kegiatan Anak

Menjadi sahabat artinya orang tua harus selalu berupaya memahami apa yang disukai dan tidak disukai anak-anak. Caranya adalah dengan menemani anak bermain dan belajar secara telaten dan sabar. Sehingga Anda memahami kebiasaan serta karakter anak, kekurangan dan kelebihannya, situasi hatinya, serta apa yang disukai dan tidak disukai olehnya. Dengan demikian Anda akan mengetahui cara memasuki hatinya.

Anak-anak sangat senang jika ibu atau ayah atau keduanya menemani berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Ini akan menimbulkan perasaan bangga dan percaya diri pada anak.

Kelima: Berikan Penghargaan dan Hukuman

Ketika anak berbuat salah, hendaknya para orang tua bisa menegur dengan bijak. Jika perlu, berikan hukuman yang bersifat mendidik. Namun jangan mengekspresikan kemarahan berlebihan yang akan membuatnya tertekan dan merasa direndahkan. Apalagi dengan bentakan, hardikan, pukulan tanpa aturan, tendangan serta tindakan lainnya. Hal-hal itu akan menyakiti hati mereka, membuat merasa tidak diterima, merasa terbuang, tersisihkan dan bisa menimbulkan rasa dendam.

Perhatikan, ada perbedaan yang sangat mendasar antara mendidik dengan memarahi. Mendidik adalah tindakan sadar, terencana dan terprogram, untuk membawa anak menuju kondisi yang lebih baik. Sedangkan memarahi adalah ledakan atau luapan emosi sesaat, yang tidak terprogram dan tidak dengan kesadaran. Boleh memberi hukuman jika anak melakukan kesalahan, namun bukan dengan kemarahan. Menghukum dilakukan dengan landasan cinta dan kasih sayang.

Sebaliknya, berikan pujian dan penghargaan untuk setiap keberhasilan yang diraihnya. Agar ia merasa diterima, dihargai, dicintai dan lebih termotivasi. Menjadi sahabat artinya berani bersikap jujur. Tidak hanya menyenangkan hati anak-anak, tetapi juga berani menyatakan kesalahan, sekaligus membantu memperbaiki kesalahan atau kekurangan mereka. Sampaikanlah kelebihan dan kekurangan anak dengan jujur. Tetapi dengan cara yang membuatnya mengerti dan tidak merasa disakiti.

Keenam: Berikan Kepercayaan terhadap Anak

Sebagai sahabat, hendaknya para orang tua bisa memberikan kepercayaan kepada anak untuk mencoba melakukan sendiri hal-hal yang ingin dilakukannya. Selama tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Cara ini akan menumbuhkan kepercayaan diri anak, tidak selalu bergantung kepada orang lain, merasa dihargai dan bisa mandiri. Kadang orang tua terlalu preventif, sehingga anak-anak terkekang kebebasan dan kreativitasnya. Terlalu banyak larangan di rumah yang membuat anak merasa tidak dipercaya.

Sebaliknya, ada pula orang tua yang terlalu permisif. Sehingga anak-anak terlarut dalam kebebasan tanpa batas. Mereka berpesta-pora dalam aneka kesenangan yang menyesatkan dan memabukkan. Yang diperlukan adalah sebuah kepercayaan timbal balik antara orang tua dengan anak. Kepercayaan orang tua tidak akan disalahgunakan anak. Sebaliknya kondisi orang tua juga harus bisa dipercaya anak.

Ketujuh: Jadilah Teladan bagi Anak

Ayah dan ibu hendaknya mampu menjadi teladan bagi anak-anak. Menjadi sahabat, artinya harus memberikan nasehat secara bijak untuk mengarahkan anak menuju kebaikan. Nasehat kebaikan itu baru memiliki makna dan diterima anak, apabila mereka mengetahui orang tua memang layak menjadi teladan dalam kebaikan. Anak-anak akan merasa nyaman ketika memiliki orang tua yang bisa ditiru.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Sya’ban 1440 / 15 April 2019


Artikel asli: https://tunasilmu.com/serial-fiqih-pendidikan-anak-no-131-orang-tua-sahabat-anak-bagian-2-habis/